Kamis, 15 Mei 2014

Matamu, Mataku



Pagi itu seperti biasanya aku mengunjungi rumah sakit kanker Darmais. Baru setengah tahun aku menjadi sukarelawan bersama teman-temanku yang lain untuk membantu anak-anak penderita kanker belajar. Melihat begitu banyak anak yang menderita kanker di usianya yang masih dini, aku patut bersyukur bahwa aku diberikan kesehatan yang luar biasa oleh Allah. Anak-anak yang seharusnya riang bermain harus bertekuk lutut dengan kanker yang dideritanya. Kulihat pagi itu anak-anak sudah rapi dan ada  di aula menunggu kakak-kakak yang akan mengajar mereka.

            Aku selalu tertarik dengan dua bocah yang tampak akrab sekali, Resa dan Rasty, mereka bersahabat dan lucunya kebetulan nama mereka huruf awalnya sama, jadi mereka selalu menuliskan di buku mereka tulisan RR. Menurut mereka , mereka akan selalu bersahabat selamanya.
            “Resa my best friend,” Rasty selalu berkata.
            “Rasty my best friend too,” Resa menimpali, biasanya keduanya tertawa. Umur mereka tidak terpaut banyak. Resa sepuluh tahun dan Rasty sembilan tahun. Aku tersenyum melihatnya. Mereka berdua cepat sekali kalau diajarkan sesuatu dan Rasty sangat pintar membuat puisi. Resa penderita leukeumia sedang Rasty kanker mata, mata kiri Rasty sudah diambil , tapi tak membuat mereka surut dalam belajar. Aku paling suka mengajar mereka , menurutku mereka cerdas dan punya bakat , sayangnya mereka terkendala dengan penyakitnya. Mereka berdua saling mengasihi satu sama lainnya, kadang aku iri terhadap kasih sayang mereka berdua,aku belum pernah merasakah dikasihi oleh orang lain selain keluargaku.

            Waktu aku kembali ke rumah sakit lagi di lain waktu, aku tak melihat Resa di aula, dan kulihat Rasty juga agak murung.
            “Hai, Rasty, mana Resa?” aku menatap wajah murungnya.
            “Penyakitnya lagi kambuh mbak,” kulihat Rasty sedang menulis rangkaian puisi. Aku meilhatnya, ya puisi yang berisi kesedihan karena temannya tak ada di sisinya. Sebelum aku mulai mengajar aku menyempatkan diri menengok Resa di kamarnya. Kulihat ibunya sedang menyuapi Resa makan, tapi kulihat dia malas makan, aku tahu efek samping kemoterapi ya rasa mual yang menyebabkan jadi malas makan.
            “Hai Resa,” aku menyapanya dan duduk di sisi tempat tidurnya. Resa tersenyum dengan wajah yang pucat.
            “Makan sama mbak, kamu tahu  Rasty murung harus belajar sendirian tanpamu,” aku mulai menyuapi sedikit dan kulihat hampir saja dimuntahkan kembali tapi Resa berusaha menelannya kembali.  Kusuapi lagi sejumput ke dalam mulutnya, tapi Resa mulai menggeleng kembali.
            “Mbak, aku sudah lemah sekali , rasanya badanku tak kuat lagi,” kulihat matanya berair , aku mengalihkan pandanganku dari matanya, aku juga tak sanggup melihat penderitaannya.
            “Mbak , mau berjanji kalau aku sudah gak ada, tolong jaga Rasty ya,” aku terkejut saat Resa berbicara seperti itu . Aku memandang ibunya yang mulai segugukan menangis. Aku hanya mengangguk dan meninggalkan Resa dengan perasaan yang aku sendiri sulit kuungkapan. Kasih sayang yang tulus dari dua insan yang sama-sama penderita kanker benar-benar membuat hatiku pilu.

            Aku baru sempat kembali tiga minggu setelah kunjungan terakhir ke rumah sakit karena kesibukanku mengikuti ujian akhir di kampusku. Waktu aku ke sana lagi, ada kabar yang membuatku terhenyak. Resa sudah meninggal tiga hari setelah kunjungan terakhir aku. Aku tak membayangkan bagaimana perasaan Rasty. Segera aku ke aula untuk menjumpai Rasty, kulihat ada yang lain darinya. Mata kirinya sudah ada bola matanya lagi dan bisa melihat. Aku terhipnotis sejenak. Rasty tersenyum padaku dan menyodorkan sebuah buku padaku.
            “Mbak, walau Resa sudah tak ada lagi , tapi Resa selalu menemaniku, dia tetap my best friend,” Rasty melipat kedua tangannya di dadanya . Rasty memandangku dengan sorot matanya yang sepertinya masih  ada yang mau dibicarakan lagi. Aku kembali menatap matanya tanda aku tak mengerti
            “Sekarang mata Resa ada di sini,” Rasty menunjukkan mata kirinya. Ataga , jadi Resa mendonorkan matanya untuk Rasty. Subhanaallah!!!, betapa rasa cinta mereka berdua yang tulus dan penuh keikhlasan membuat Resa dengan beraninya memberikan matanya pada Rasty, walau Resa sudah tiada. Cinta mereka berdua memang unik , diantara cinta-cinta yang lain. Kubuka buku kumpulan puisi Rasty, pada halaman terakhir aku membaca rangkaian kata yang ditulis oleh Rasty buat sahabatnya Resa.


Sahabat Baikku

Kau terhias dari salju yang putih seputih hatimu
Aku tak menyangka engkau akan pergi dariku
Andai kau tahu, aku ingin kau masih di sini bersamaku
Menganyam ilmu , merangkaikan kata-kata indah dalam tulisan
Sekarang ku hanya merasakan pilu yang tercapik di hatiku
Entah aku bisa tetap berdiri di sini tanpamu

Tapi aku senang kau akan selalu ada di hatiku
Matamu membantuku tuk melihat pesona alam ini
Kuurai cerita ini agar aku selalu mengenangmu lewat matamu
Entah aku sering merasakan saat engkau selalu mau berbagi cinta denganku
Jemariku selalu kutautkan tuk merangkai doa-doa panjang buatmu
Sajakku puan hanya untuk dirimu sahabat!!!1

Aku meneteskan air mataku , lembaran kertas menjadi buram tertutup air mataku. Cinta dua insan yang merasakan kepedihan yang sama , begitu menyentuh sanubariku. Memang benar mereka sahabat selamanya, mata Resa akan selalu menemani Rasty selamanya!!!!!



           

21 komentar:

  1. This love is just amaziiiiing mak. Super inspiring. Good luck buat lombanya ya mak.

    BalasHapus
  2. hiks.. mengharukan.. persahabatan yg indah.. walo dlm kepedihan dan kekurangan, tp ttp saling mengasihi..

    BalasHapus
  3. Hiks...mbrebes mili bacanya mbak... :(

    BalasHapus
  4. Subahanallah, indahnya persahabatan :) sukses lombanya mak :)

    BalasHapus
  5. mbak Muna, ini memang cerita bikin mewek, yg nulis saja bentar2 berhenti dulu, brebes mili

    BalasHapus
  6. Mbak Covalimawati, memang sahabat seharusnya seprti itu ya,

    BalasHapus
  7. mak Rina, meleleh sampai hati ya...

    BalasHapus
  8. mbak Sidqi's mom, makasih semangatnya

    BalasHapus
  9. Wah setelah abca ini, jadi ingat dengan Dr. Hunter Patch Adams. waktu masih pendidikan, sering berkumpul dengan pasien anak-anak penderita kanker

    BalasHapus
  10. Haduh, kenapa air mata ikut menetes ya ? he,, he,, he,,,

    Salam wisata

    BalasHapus
  11. Mas Rachmat, sy ingin juga bisa berbagi dg anak pendeita kanker tp sy tahu banget bgmn penderitaan pasien, jadi gak tegel.

    BalasHapus
  12. Ma Indra , silahkan deh meleleh gak ada yg melarang, salam dari Cirebon

    BalasHapus
  13. Ceritanya mengharubiruu... :')
    Sukses buat lombanya Mak :D

    BalasHapus
  14. makasih mbak Wening, salam dari Cirebon

    BalasHapus
  15. Jadi kangen dengan sahabatku.... punya sahabat memang menenangkan. Selalu ada di kala suka dan duka...

    BalasHapus
  16. Zee, tentunya sahabat sejati yg mau menerima kita apa adanya dan menemani dalam suka dan duka

    BalasHapus
  17. Hiks :'( nangis bacanyaaa.. kaya kisah-kisah di film ternyata ada kenyataannya ya mak.. Subhanallah

    BalasHapus
  18. iya, banyak sebetulnya kisah2 seperti itu tapi tak terlihat saja

    BalasHapus